Beranda | Artikel
Cinta: Antara yang Syari, Haram, dan Mubah (Bag. 1)
Jumat, 29 Juli 2022

Bismillah wal-hamdulillah wash-shalatu was-salamu ‘ala rasulillah. Amma ba’du,

Dasar setiap amal adalah cinta, baik amalan saleh maupun amalan keburukan

Seseorang yang melakukan sebuah amal baik atau buruk dengan sadar dan tanpa paksaan, pastilah ada rasa cinta yang mendasari perbuatannya tersebut, entah mencintai amal itu sendiri ataupun mencintai buah (konsekuensi) dari amal. Syaikhul Islam rahimahullah berkata,

محبَّة الله وَرَسُوله من أعظم وَاجِبَات الإيمان وأكبر أصوله وَأجل قَوَاعِده، بل هِيَ أصل كل عمل من أَعمال الْإِيمَان وَالدّين

“Mencintai Allah dan Rasul-Nya termasuk kewajiban iman yang teragung dan dasar serta pondasi iman yang terbesar. Bahkan, itu adalah dasar setiap amal keimanan dan dasar agama Islam ini.”

‘Ibadatullah terbangun atas dasar cinta kepada Allah, bahkan cinta kepada Allah adalah hakikat ibadatullah

Dasar penghambaan seseorang dan dasar ibadahnya kepada Allah Ta’ala adalah rasa cinta kepada Allah, yaitu mengesakan-Nya dalam ibadah cinta. Oleh karena itu, tidaklah seorang hamba mencintai dengan bentuk cinta ibadah, kecuali cinta kepada Allah semata, dan dia mencintai sesuatu yang dicintai-Nya, ikhlas karena-Nya dan di jalan-Nya. Inilah hakikat ibadah dan rahasia dari ibadah. Ketika penghambaan seseorang kepada Allah berdasarkan cinta kepada-Nya semata, melahirkan kecintaan kepada segala yang dicintai-Nya sehingga mengamalkannya, dan melahirkan kebencian kepada segala yang dibenci-Nya sehingga meninggalkannya.

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Miftah Daaris Sa’adah,

لا ريب أن كمال العبودية تابع لكمال المحبة ، وكمال المحبة تابع لكمال المحبوب في نفسه ، والله سبحانه له الكمال المطلق التام في كل وجه ، الذي لا يعتريه توهم نقص أصلا ، ومَن هذا شأنه فإن القلوب لا يكون شيء أحب إليها منه ، ما دامت فطرها وعقولها سليمة ، وإذا كانت أحب الأشياء إليها فلا محالة أن محبته توجب عبوديته وطاعته ، وتتبع مرضاته واستفراغ الجهد في التعبد له ، والإنابة إليه

“Tidak diragukan lagi, bahwa kesempurnaan peribadahan mengikuti kesempurnaan cinta. Dan kesempurnaan cinta mengikuti kesempurnaan sesuatu yang dicintainya. Dan Allah Subhanahu memiliki kesempurnaan yang mutlak dari segala segala sisi yang tidak terkotori dengan sangkaan kekurangsempurnaan sama sekali. Oleh karena itulah, apabila fitrah itu lurus dan akal juga sehat, maka tidak ada sesuatu yang paling dicintai oleh hati manusia melebihi mencintai-Nya. Dan jika demikian halnya, maka kecintaan kepada-Nya mengharuskan ia menyembah-Nya, taat kepada-Nya, mengikuti keridaan-Nya, dan mengerahkan segala daya upaya dalam beribadah menghamba kepada-Nya, serta dalam kembali kepada-Nya.”

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata,

فمحبة الله ورسوله وعباده المتقين تقتضي فعل محبوباته وترك مكروهاته

“Maka kecintaan kepada Allah, Rasul-Nya, dan hamba-hamba-Nya yang bertakwa bekonsekuensi melakukan perkara yang dicintai-Nya dan meninggalkan perkara yang dibenci-Nya.”

Cinta kepada Allah itu membuahkan cinta kepada Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam, cinta kepada hamba-hamba-Nya yang bertakwa, serta cinta kepada segala perkara yang dicintai Allah. Hal ini akan menuntut melaksanakan segala yang dicintai-Nya dan meninggalkan segala yang dibenci-Nya.

Macam-macam orang beriman dalam masalah cinta

Dalam masalah cinta, orang yang beriman itu terbagi menjadi tiga golongan:

Pertama

Golongan yang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu golongan yang melaksanakan kewajiban dan amalan sunah, serta meninggalkan keharaman dan kemakruhan, serta meninggalkan sebagian yang halal. Ini adalah golongan para rasul dan nabi ‘alaihimush shalatu was-salamu, serta orang-orang yang sempurna keimanannya dari “sabiqun bil khairat”.

Kedua

Golongan yang tengah-tengah cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu golongan yang melaksanakan kewajiban dan meninggalkan keharaman dengan meninggalkan syirik dan setingkatnya, bid’ah, dan maksiat. Ini adalah golongan “muqtashid”, golongan pada umumnya orang-orang saleh.

Ketiga

Golongan yang teledor dan kurang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala, yaitu golongan yang teledor dalam melaksanakan kewajiban dan melakukan keharaman. Ini adalah golongan orang yang menzalimi diri sendiri (zholimun linafsih) dan golongan pelaku maksiat yang mengikuti hawa nafsu dari kaum muslimin. [1]

Tiga golongan ini, yakni (1) Sabiqun bil khairat (orang yang lebih dahulu dalam kebaikan), yaitu golongan yang sempurna cintanya kepada Allah Ta’ala; (2) muqtashid (orang yang pertengahan), yaitu golongan yang pertengahan cintanya kepada Allah Ta’ala); dan (3) zholimun linafsih (orang yang menzalimi diri sendiri), yaitu golongan yang kurang cintanya kepada Allah Ta’ala, telah disebutkan dalam surah Fathir ayat 32.

Karena ‘ibadatullah terbangun atas dasar cinta kepada Allah, bahkan cinta kepada Allah adalah hakikat ibadah, sedangkan cinta kepada Allah mendorong seseorang melaksanakan segala perkara yang dicintai-Nya. Pantas saja ketika Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mendefinisikan ibadah, bahwa ditinjau dari sisi zatnya, ibadah adalah setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala. Dalam kitab beliau Al-‘Ubudiyyah, beliau mengatakan,

الْعِبَادَةُ هِيَ اسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللَّهُ تَعَالَى وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَعْمَالِ الْبَاطِنَةِ وَالظَّاهِرَةِ.

“Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup setiap perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa ucapan maupun perbuatan, (baik) yang batin (hati), maupun yang zahir (anggota tubuh yang nampak).”

Dalam definisi ini mengandung makna bahwa ‘ibadatullah itu adalah segala perkara yang dicintai dan diridai oleh Allah Ta’ala, baik berupa cinta kepada Allah maupun tuntutannya, yaitu cinta kepada segala yang dicintai-Nya dan pelaksanaan konsekuensinya.

Kandungan dan dasar ibadah itu adalah puncak cinta dan puncak perendahan diri (puncak pengagungan) kepada yang disembah/ diibadahi

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin,

العبادة تجمع أصلين: غاية الحب بغاية الذل والخضوع

“Ibadah itu menggabungkan dua dasar, yaitu: puncak kecintaan dan puncak perendahan diri dan ketundukan.”

Puncak cinta ini membuahkan pelaksanaan perintah dari yang dicintai dan disembah. Sedangkan puncak perendahan diri itu membuahkan sikap menghindari larangan yang diagungkan (yang disembah). Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata dalam Madarijus Salikin,

فمن أحببته ولم تكن خاضعا له لم تكن عابدا له، ومن خضعت له بلا محبة لم تكن عابدا له، حتى تكون محبا خاضعا

“Barangsiapa yang anda cintai, namun anda tidak tunduk kepadanya, maka anda bukan menghamba kepadanya. Dan barangsiapa yang anda tunduk kepadanya tanpa cinta, maka anda bukan menghamba kepadanya. Barulah anda dikatakan menghamba kepadanya sampai anda mencintainya dan tunduk kepadanya.”

Oleh karena itu, Syekh Muhammad Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah mendefinisikan ibadah ditinjau dari sisi perbuatan hamba sebagai berikut,

التذلل لله – عز وجل – بفعل أوامره واجتناب نواهيه؛ محبة وتعظيماً

“Merendahkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, didasari cinta dan pengagungan.”

[Bersambung]

***

Penulis: Sa’id Abu Ukkasyah


Artikel asli: https://muslim.or.id/77109-cinta-antara-yang-syari-haram-dan-mubah-bag-1.html